Senin, 24 Desember 2012

Wajjahtu wajhia lillazi fataras sama wati wal ardha hanifam muslimaw wama ana minal musyrikin. Inna solati wanusuki wamahyaya wammamati lillahi rabbil'alamin.

Kuhadapkan jiwa ragaku pada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan mengakui kebenaran serta berserah diri, dan tidaklah aku termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam

MenyembahNya tidak hanya saat shalat, namun setiap saat dan menyembah dengan segenap hati bukan hanya dalam bentuk gerakan fisik saat shalat

Selasa, 11 Desember 2012

Zuhud dan kekayaan

Pagi itu Kyai Makmun seperti biasanya memberikan kuliah pagi kepada santri-santrinya, pagi ini sampailah pada bab pembahasan tentang zuhud

” Begitulah anak-anakku, zuhud adalah berpalingnya hati dari semua yang bersifat duniawiyah, baik itu halal apalagi yang syubhat dan haram “

semua santrinya mendengarkan penjelasan kyai makmun dengan seksama, tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunan santri ada satu santri yang meminta waktu untuk bertanya

” sebelumnya saya minta maaf, kalau saya lihat, pak kyai sendiri kenapa hidupnya penuh dengan dunia?” begitu pertanyaan muridnya

seperti diketahui, kyai makmun ini tergolong kyai yang kaya raya, rumahnya megah, pesantrennya kokoh dan banyak, kendaraannya mengkilap tidak hanya satu, hal demikian kontra dengan penjelasan yang pagi ini disampaikannya. lalu apa jawaban kyai makmun? dengan senyumannya yang khas beliau menjawab

” anakku pertanyaanmu sungguh cemerlang, tapi pertanyaanmu itu akan saya jawab insya Alloh dalam pengajian besok sore “

Berjalan di Atas Air


Sayyid Murtadha adalah seorang ‘alim. Ia punya banyak murid yang rajin menimba ilmu darinya. Salah satunya adalah seorang muda yang selalu datang terlambat ke hauzah-nya. Suatu ketika, ia tanyakan hal itu kepada muridnya, “Mengapa kau selalu datang terlambat?”

Si Murid menjawab bahwa ia tinggal di seberang sungai. Ia sudah berusaha menyeberang dengan perahu pertama setiap harinya, tetapi perahu pertama ini baru akan menyeberang jika penumpangnya sudah penuh. Karenanya, dia pun selalu terlambat.

Sayyid Murtadha kemudian menulis sesuatu di secarik kertas, melipatnya rapat, lalu menyegelnya. Diberikannya kertas itu kepada muridnya yang selalu terlambat itu. “Bawalah kertas ini setiap hari, seberangilah sungai, kau akan mampu berjalan di atas air mulai besok,” kata Sayyid Murtadha, “tetapi jangan pernah membuka segel kertas itu.”

Esok harinya, Si Murid menghampiri tepi sungai, dan pelan-pelan mulai mencoba berjalan di atas air. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seseorang bisa berjalan di atas air, namun ia percaya titah gurunya sepenuhnya. Ajaib, ternyata benar, dia bisa berjalan di atas air!

Cinta Kepada Allah

Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw) bertanya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra:

"Apakah engkau mencintai Allah?" Ali ra menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?" Ali ra kembali menjawab, "Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali menjawab,"Ya". Husain kecil kembali bertanya:

Senin, 10 Desember 2012

Kisah Pelita Kebijaksanaan


Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: ”Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.” Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.”
Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel ”Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, ”Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya?

Jangan Perhatikan Cangkirnya



Ada beberapa anak muda yang berencana untuk mengunjungi gurunya sewaktu mereka masih duduk si bangku sekolah. Sekelompok anak muda itu mulai terlibat percakapan dengan mantan gurunya. Mereka menceritakan bahwa pekerjaan dan kehidupan yang mereka lalui membuat stres.

Selang beberapa menit, guru itu pun pergi ke dapur untuk membuatkan teh. Guru itu mengambil semua gelas dan cangir yang ada di laci dapurnya. Ada gelas biasa, gelas plastik, cangkir keramik, dan cangkir kristal. Guru itu menyuruh para mantan muridnya untuk menuangkan sendiri tehnya.

Saat semuanya sedang menikmati teh, guru itu berkata, "Lihatlah, semua gelas dan cangkir yang mahal telah diambil dan yang tersisa hanyalah gelas plastik yang jelek. Normal bila kalian menginginkan yang

Cintai hatimu

" alaa inna fil jasadi mudghah,idzaa shaluhat shaluha jasadu kulluhu waidzaa fasadat fasada jasadu kulluhu, alaa wahiyal qalbu".

"ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dana apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuhnya.ingatlah ia adalah hati". (HR.Bukhari dan Muslim)

Hati adalah cermin pribadi setiap manusia. Lalu, cermin model manakah yang kita miliki dalam hati kita? Apakah hati kita bersih laksana cermin yang berkilau sehingga manantulkan perbuatan yang baik, ataukah malah kotor dan buram yang membuat kita selalu buruk? Hal ini sepertinya tergantung